kurang sepuluh dari empat sore

Sore ini hujan turun lagi, seperti kemarin cuman gerimis, tidaklah deras tapi cukup buat basah kalau ditembus. Masih kurang sepuluh menit dari jam empat, tapi dari kaca jendela terlihat di luar sudah agak gelap, mungkin karena mendung yang agak tebal, atau hanya karena kaca jendela yang kabur tertutup embun.
Rasa dingin menyetuh dari angin yang bertiup masuk, ketika pintu yang tidak jauh dari tempatku duduk terbuka. Dua orang masuk ke warung dengan rambut dan pakaian sedikit basah, mereka menuju meja pojok sisi belakang, tepatnya di sebelah kiriku agak ke belakang. Tidak berapa lama, mereka tidak lagi menjadi perhatianku, karena senyum seorang waitress yang mencoba menyapaku lebih membuatku tertarik untuk membalasnya.

Warung makan ini tidaklah besar, ya kategorinya mini resto, begitulah biasanya orang menyebut. Paling luasnya sekitar duabelas kali sepuluh meter, itupun delapan kali tiga meter di sebelah kanan dipakai parkir motor yang di sisi depan sekitar satu kali dua meter ditanami bambu kuning yang merupakan satu-satu aksen warna hijau di areal jalan ini. Kalau ada yang datang dengan mobil harus parkir di pinggir jalan, tapi itu bukanlah masalah karena warung ini buka mulai sore jam empat dimana toko-toko di jalan ini sudah banyak yang tutup sehingga jalan tidak lagi ramai.
Karena lahan yang sempit bangunan sengaja dibuat mempet ke jalan, di bagian luar dibuat semacam beranda yang juga disediakan meja-meja. Lebih seringnya aku memilih tempat diluar, karena sesekali bisa melihat suasana jalan, tapi kali ini aku lebih memilih di dalam, entah kenapa kayaknya hari ini kulitku agak tidak nyaman dengan rasa dingin.

Ini jelas tempat yang nyaman buatku melepas penat, tapi sungguh sebenarnya tadi tidak ada niatku pergi ke tempat ini, sebab memang tiga bulan terakhir selalu aku hindari untuk ke sini lagi. Hanya karena tadi kehujanan entah kenapa pilihannya mesti ke sini, itupun ketika aku datang masih belum buka, tapi karena mbak Reni pemilik warung terlanjur melihatku, “Heii..! baru nongol kamu ya..” teriaknya dari dalam.
Iya, jelas sekali mbak Reni hafal denganku, karena dulu tiap selasa atau rabu malam kita pasti ke sini. Maksudku kita itu.. aku sama kamu, kamu bukan yang lain, nggak pernah berani ngajak yang lain. Hehe.., bukan karena kamu teramat galak, tapi..
Iya, tapi.., tapi kenapa ya..?
Mungkin karena kamu terlalu cantik. Nggak.., bukan, kamu cuman cantik. Mungkin saja karena kamu tidak suka jalan malem sabtu atau malem minggu, kita sama-sama merasa bahwa akhir pekan sudah dimiliki banyak orang, itulah kenapa seringnya kita ke tempat ini selasa atau rabu malem. Iyaa.., aku rasa mungkin kita ingin memiliki sesuatu yang orang lain tidak punya, seperti selasa dan rabu malem kita, dan tempat ini tentunya.
Mungkin hanya karena aku tidak ingin memilikinya dengan orang lain. Hehe.., tapi itu semua cuman kemungkinan saja.

Jam empat limabelas menit kulihat di layar hp-ku, gerimis sempat redah tapi segera deras lagi, tampaknya memang tidak akan segera redah.
“I still haven’t found what I am looking for” lagu dari U2 terdengar lirih mengisi ruangan.. Aku rasa aku mulai tahu, kenapa aku memilih meja ini. Aku menghadap jendela kaca dimana sisi sebelah luar adalah meja yang sering kita pilih.
Kaca yang kabur karena embun, terlihat samar kamu memandang ke arah di mana aku duduk, makin terasa jelas rautmu dengan patulan lampu berbahan bakar minyak goreng dalam gelas cantik, ketika si Olieq meletakannya di atas meja sebelah dalam samping kaca jendela. Pandanganmu tidak kosong, tapi entah apa yang kamu lihat, masih sangat kurasakan sorot mata dari raut muka itu, membuat apa yang di dalam dada entah yang mana terasa mendadak…
“woeiii…, nglamun aja..”, sapa lembut Olieq mencoba memulai obrolan sambil meletakkan gelas lampu yang sudah menyala di mejaku. Meja kayu kecil persegi empat, sekitar enampuluh kali enampuluh centi, warna coklat gelap tanpa taplak, khusus cuman untuk dua orang. Tidak ada barang apapun di atas meja, hanya gelas lampu yang baru Olieq letakan persis di tengah meja.
“sendirian aja..?” tanyanya sambil menarik kursi yang semula berhadapan denganku ke arah samping, hinga kami duduk bersebelahan.
“biar bisa ngobrol samamu..” kujawab dengan ekspresi datar.
“e..emm.., eem..!” sambil mengernyitkan dahinya, kemudian diangguk-anggukkan kepalanya, kubalas lagi dengan senyuman sedikit ketawa…

Kamu pasti tahu kalau aku cuman becanda. Iya.., seperti biasanya waktu aku datang ke sini sama kamu, aku juga sering becanda sama Olieq. Memang, sering kuperhatikan kalau Olieq tuh memang teramat manis, asyik diajak ngobrol, anaknya-pun cerdas terlihat sekali dari selera humornya, tapi sayangnya teramat aku sayang sama kamu.
Aku sangat yakin, pasti sekarang kamu berusaha mendatarkan persaanmu, hingga wajahmu tidak menggambarkan kondisi emosional seperti apa yang ada dalam hatimu. Sering kali atau mungkin selalu kamu seperti itu, entah apa sebenarnya tujuanmu, aku rasa kamu pun tidak pernah tahu. Memangnya ada apa dengan kata sayang? Kondisi emosional yang terwakilinya pun sudah lama ada dan biasa berada dalam diri manusia, terus apa istimewanya dari hal yang sebenarnya biasa. Iya, iya…, biacaraku memang terlihat tidak jelas apa maksudnya, kita bicarakan hal lain saja. Hehe.., aku putuskan seperti itu karena aku yakin kamu pasti segera bicara masalah lain dan berusaha mengesankan bahwa kamu tidak perduli dengan apa yang sudah aku bicarakan, dan seolah-olah aku tidak pernah bicara tentang hal itu. Tapi harusnya kamu tahu kenapa aku selalu bicara seperti itu, karena aku yakin kamu terlalu pintar untuk tidak mengerti apa yang aku bicarakan.”Ah! sudahlah, terserah mau ngomong apa…” pasti itu kan yang mau kamu omongkan? Apa? Salahmu sendiri, kamu terlalu banyak bicara, hingga aku terlalu banyak tahu tentang dirimu.. “Ah sud…”

“Kok cuman pesen green tea..? Nggak laper? Atau udah nggak selera lagi dengan menu di sini?” cercaan pertanyaan datang dari mbak Reni yang sebenarnya lebih merupakan sapaan. Jelas dari nada yang ramah berlanjut senyuman, menandakan bukan pertanyaan yang mesti dijawab serius. Aku hanya membalas dengan senyum. Segelas teh hijau pahit hangat disodorkan mbak Reni di meja, kemudian dia duduk di kursi yang sempat digeser Olieq ke sampingku.
“Mungkin bukan menunya kali ya.., yang nemenin mungkin? Lagian tumben-tumbennya kesini sendiri, lagi berantem ya? Atau udah dapet yang baru?” ini memang sapaan ramah, tapi yang ini agak terasa lain. Tapi memang semua pertanyaan itu tidak perlu dijawab, nyatanya mbak Reni melanjutkan dengan tanpa memberiku kesempatan menjawab satupun pertanyaan.
“Si Olieq, mau ke Inggris bulan depan udah tahu?”
“Oh.., lolos biasiswanya?” tanyaku mencoba menanggapi.
“Aku butuh asisten chef pengganti Olieq nih, kamu mau nggak?”
“Asal banget sih mbak? Tampang dari mana aku tuh bisa masak?”
“Lohh.., aku tuh coba menggangkat derajatmu, menjadi tukang masak itu profesi mulia. Sekarang apa yang kamu harapkan dari menjadi fotografer? Paling kamu juga sukanya foto yang syur-syur gitu. Kamu tuh aneh, kuliah kok S1 fotografi? Aku juga heran, tinggal jepret aja kok jenjangnya sampai S1?“ Hehe, mulai deh…,
Seperti dulu waktu kita sering ke sini, selalu ada yang bisa dijadikan bahan ejekan, entah itu mulai dari aku, kamu atau mbak Reni. Mbak Reni itu bagian dari tempat ini, dia akrab dengan hampir semua pelanggannya. Kamu pun tahu mbak Reni tahu banyak tetang bagaimana kita, itulah kenapa dia tidak terlalu cari tahu kenapa aku ke sini sendiri.

Kuseruput teh hijau hangat dalam cangkir bening, sore di warung ini semakin dingin, aku membayangkan betapa sungguh menyenangkan kalau tadi ke sini bersamamu, aku tidak tahu apakah itu memang mungkin. Sering kali ingin aku menghubungimu, seperti dulu kuajak jalan ke pinggir kota waktu sore, makan sate keong samping stasiun kereta, atau hunting foto di penjuru kota dini hari. 
Kamu pasti masih ingat si kardi orang gila di pasar induk, objek pertamamu ketika kuajarin motret. Masih ingat kan? Dia marah saat aku pantulkan cahaya matahari pagi dengan gabus bekas, untuk membuat sisi wajahnya lebih terang saat kamu ambil fotonya. Waktu itu kita berlari ketakutan karena dia mengamuk seakan menunjukkan kalau dia memang gila.
Oh ya, mbok Rah penjual angkringan tempat kita sering makan sate keong sempat menanyakan kabarmu, aku bertemu di stasiun kemarin pagi. Tapi sekarang bagaimana aku bisa menghubungimu, nomor hp-mu sudah kuhapus, aku pun tidak pernah menghafalnya.
Kamu pasti tidak pernah mengira kalau nomormu sudah kuhapus, kamu pasti yakin aku akan menghubungimu dulu, seperti yang sudah-sudah. Tidak, jelas tidak, kamu tidak akan mendapatkannya kali ini.
Apa?! Tidak pernah aku berusaha menyalahkanmu, kamu pikir menganjurkan suatu yang sebaiknya dilakukan itu menyalahkan? Aku hanya memprotes atas sesuatu yang kurasakan mengganggu kenyamananku. Pasti kamu bilang bahwa aku juga sering membuatmu tertekan, ya itu kan terjadi karena kamu tidak bisa menghargaiku. Aku tidak menuntut kamu menganggapku siapa, aku hanya ingin kamu sadar kalau aku ada. Kamu selalu bilang kenapa kamu selalu salah, harusnya apa yang mesti kamu lakukan.
Tidak perlu kamu melakukan apa-apa, kamu hanya perlu sadar bahwa ada aku di sisimu, akupun perlu sadar kalau kamu itu ada. Tapi apa sekarang yang kita lakukan? tiga bulan delapan hari sejak terakhir kita ke sini. Entah apa maksudmu, menghilang tanpa kabar, entah kenapa juga aku tidak berusaha menghubungimu.
Tidak perlu kamu minta maaf, jika tidak kamu merasa salah. Tidak perlu kamu ungkapkan kalau aku begitu berharga bagimu, aku jelas tahu itu.
Tidak perlu alasan apapun, karena sudah cukup ini beralasan. Karena semua itu hanya akan menjadi kata-kata yang menyebalkan, yang akan mengaburkan arti dirimu bagiku. Kenapa kamu tidak menghubungiku sekarang? Kamu hanya perlu bilang “mas, ke tempat mbak Reni yuk” atau “lighting-nya bagus, hunting kita mas..?” tidak perlu kata basi yang lain, sekali lagi itu menyebalkan!

Tiba-tiba hp yang kutaruh di meja bergetar, aku sedikit kaget. Ada sms, hanya no pengirim tampak di layar, tidak dikenal.
“Hei mas, lg ngapain? Kmrn2 ak sbk, byk tgs ampe teler nih ak, sorry ya ga ksh kbr. mas pa kbr? pmran jd kan? Oh iya, selasa kmrn aku ke t4 mb.Reni. si Olieq ktnya jd ke UK loh.., maen sana yuk”.
Jelas dari kata-katanya itu sms-mu, kutekan tombol hapus, muncul pesan di layar, “delete message?” kutekan Yes.

jogja, juli 2008

1 comment: